oleh:
Insan Al Fajri
Pengggiat Komunitas Jejak Pena
Film Night Train to Lisbon (2013) bercerita tentang seorang professor Swiss ahli bahasa kuno (Raimund Gregorius) yang berusaha menyelamatkan seorang gadis Portugis yang hendak melakukan bunuh diri. Singkat cerita, setelah menyelamatkan gadis tersebut, sang Profesor menemukan sebuah buku pada jas si gadis yang ditinggalkan karena keburu kabur.
Buku tersebut merupakan sebuah novel yang berkisah tentang perlawanan terhadap penguasa Portugis. Film yang berdurasi 110 menit tersebut menceritakan bagaimana Raimund begitu tertarik dengan isi buku tersebut, kemudian memutuskan untuk meninggalkan profesinya sebagai dosen lalu melawat ke Portugal.
Terlepas dari fiksi/kisah nyata, cuplikan kisah film diatas membuktikan kepada kita semua, betapa teks (buku) sangat berpotensi untuk merubah jalan hidup seseorang, bahkan melampaui apa yang dianggap wajar oleh orang ”kebanyakan”. Kenapa mesti bersusah payah hanya untuk menuntaskan rasa penasaran terhadap sebuah buku ?. tentu saja kisah semacam ini sangat kecil kemungkinannya kita temui dalam menjalani hidup di Indonesia, kota Padang apalagi.
Mengingat indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001 % (berdasarkan survey UNECO 2011), mustahil untuk menemukan cerita dimana seorang manusia Indonesia memiliki ketertarikan serius terhadap buku yang dibacanya. Meskipun survey tersebut dilakukan 5 tahun yang lalu, rasanya angka tersebut masih mampu mewakili untuk dijadikan acuan pada hari ini.
Terlebih dalam wilayah kota Padang, menemukan orang yang memiliki hubungan serius dengan buku-buku adalah sebuah “kemewahan”. Saya sendiri juga bagian dari pada persoalan tersebut. Perjumpaan saya dengan buku, boleh dikatakan sekedar bertegur sapa alakadarnya, seperti “halo” dengan “hai”, lalu pertemuan itu tidak pernah ditindak lanjuti.
Suatu ketika, saya sedang menunggu Dosen Pembimbing di Kampus sambil “iseng-iseng” membaca buku “paco-paco Kota Padang” yang ditulis oleh Freek Colombijn. Lalu datang seorang kawan, kemudian bertanya apa urusannya seorang mahasiswa Teknik Mesin membaca buku yang ditulis oleh seorangAntropolog ?, saya jawab saja sekenanya, karena kalau membaca buku Thermodinamika isinya rumus semua kawan.
Perkara membaca buku, apalagi yang tidak sejalan dan sebangun dengan disiplin ilmu yang sedang digeluti ini memang menjadi persoalan tersendiri. Bahkan orang tua saya sering mengajukan pertanyaan semacam ini “apo hubuangannyo buku nan ang baco tu samo skripsi waang? Mambaco lai tiok sabanta, tapi kuliah ang indak juo tamaik-tamaik doh”.
Menurut saya, menjadi seorang pembaca, tidak melulu bicara tentang pengetahuan praktis dan serta merta memudahkan segala sesuatu yang sedang dikerjakan. Adakalanya membaca itu hanya bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih. Apakah kemudian informasi itu berguna atau tidak, itu soal lain. Bahkan dalam situasi tertentu, membaca buku merupakan sebuah usaha untuk berpaling sebentar dari realitas yang “kepalang brengsek” untuk kemudian larut dalam teks yang ditulis oleh para pengarang. Boleh jadi, sebagian pembaca akan menganggap saya terlalu sentimentil dalam menilai persoalan ini. Biarlah, tentu saja mereka punya hak untuk itu.
Hari ini, kita sedang berada dalam sebuah kondisi, dimana membaca buku adalah persoalan yang nomor sekian. Memilih untuk tetap menjadi pembaca dalam suasana yang seperti itu tentu saja akan menjadi kerumitan tersendiri. Membaca buku adalah “dialog yang sepi antara” si pembaca dengan teks yang sedang dibacanya. Sementara ruang publik begitu gandrung akan “kegaduhan”. Bahkan akhir-akhir ini, kosakata “kegaduhan” itu begitu sering saya dengar. Entah menyangkut tentang politik, atau sekedar keberisikan di media sosial. Seketika saya ingat bait puisinya Soe Hok Gie “wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti”. Entah bagaimana ceritanya, masyarakat (apalagi netizen) kita hari ini merasa perlu untuk berkomentar terkait hal apapun. Seolah-seolah manusia itu sendiri memang makhluk yang dalam penciptaannya memang ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang doyan berkomentar.
Dalam batasan tertentu, hal ini tentu baik dan wajar. Karena membuktikan “budaya bisu” sudah sedemikian lama kita tinggalkan dan sedang bersiap menuju tatanan masyarakat yang lebih demokratis. Namun, masalahnya adalah untuk mengomentari suatu hal dibutuhkan seperangkat pengetahuan, sementara untuk memastikan sumber pengetahuan itu valid salah satu mediumnya adalah buku. Dengan begitu keadaannya menjadi timpang. Hasrat yang begitu tinggi untuk mengomentari suatu hal tidak dibarengi dengan sumber referensi yang kuat. Dampaknya sangat jelas, masyarakat begitu mudah menjadi terbelah, terjebak dalam situasi pro dan kontra dan “mentok” disitu. Sama halnya memilih jokowi berarti anti dengan Prabowo atau sebaliknya.
Milyaran informasi tersebar di internet dan muncul dalam bentuk yang bermacam ragam. Iklan, berita, hingga sensasi selebriti dikemas sedemikian rupa sehingga bisa lebih dekat dengan pembaca. Suatu ketika saya berdiskusi dengan seorang kawan sekaligus Guru bung Utche P Felagona, kawan itu mengatakan kita sedang mengalami kebanjiran teks, walhasil sulit untuk melakukan pemilahan dan penilaian terkait kebenaran sebuah informasi.
Pilihan hidup yang paling waras dari fenomena diatas adalah kembali kepada buku. Menyusuri kembali bagaimana sebuah informasi dan pengetahuan disuguhkan. Sebuah jalan sunyi yang memang menjemukan bagi sebagian orang. Mengapa harus repot membaca buku kalau semua kesimpulan informasi sudah disediakan oleh headline news ?. membaca buku merampas waktu senggang. Membaca buku membuat kita mesti memahami telebih dahulu terhadap suatu hal sebelum memutuskan untuk menyatakan sikap. Pada akhirnya membaca buku akan membawa kita pada perenungan ke perenungan selanjutnya, jauh dari segala kegaduhan yang tak berguna.