oleh Yudha Ahada
Potensi pariwisata Sumatera Barat saya rasa sudah terang benderang jelasnya. Ranah Minang ini menyimpan berjuta kekayaan wisata, baik itu yang disediakan alam maupun keunikan seni budaya “urang awak”. Soal keindahan alam, bolehlah kita kutip ucapan pak Sapta Nirwandar, katanya tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan Sumatera Barat.
Namun, pariwisata ternyata tak hanya sekedar keindahan dan keunikan sebuah destinasi. Lebih dari itu, pariwisata juga sangat ditentukan oleh bagaimana suatu destinasi tersebut dikemas dan dikelola. Mengemas dan mengelola destinasi pariwisata. Nah, dua kata kunci inilah yang saya kira perlu kita bahas lebih mendetail untuk mengoptimalkan potensi pariwisata Sumatera Barat ini.
Mengemas dan mengelola pariwisata membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan profesional. Atau setidak-tidaknya paham konsep dan mekanisme pariwisata. Pun tidak hanya SDM pengemas dan pengelola, pariwisata juga ditentukan oleh SDM lingkungan sekitar destinasi tersebut. Singkatnya, soal pariwisata ini cukup kompleks, tak mempan hanya dengan mengandalkan destinasi semata.
Pertanyaannya, apakah Sumatera Barat SDM pariwisatanya sudah oke? Jawabannya saya rasa sudah kita masing-masing ketahui. Tentu saja kita punya SDM yang kompeten dan profesional untuk pariwisata ini. Namun masalahnya mereka masih sedikit, dan mungkin karena masih sedikit itu gerakannya pun terbatas.
Oke, sebelum melanjutkan pembahasan itu, saya akan coba sedikit memaparkan mengapa SDM untuk pariwisata ini begitu penting untuk kita bahas.
Jadi sederhananya begini. SDM itu sangat berperan strategis menentukan sukses tidaknya suatu destinasi wisata. Sebuah destinasi boleh saja menarik dan keren, tapi kalau tidak dikelola dengan baik dan masyarakat di lingkungannya juga tidak mendukung, maka destinasi tersebut tidak lagi akan menarik pengunjung.
Atau lebih konkretnya begini, di Sumbar kita punya sekian destinasi wisata menarik. Tapi karena di sana kotor, parkirnya semena-mena, pedagang menjual dagangan dengan harga selangit ditambah lagi ada preman tukang pakuak atau pemerasan, anda pasti tidak akan nyaman lagi berwisata kan? Setidaknya demikianlah kenapa SDM sangat perlu kita perhatikan dalam pariwisata.
Nah, salah satu ikhtiar untuk menemukan jalan membantu pemerintah dalam menyiapkan SDM untuk mendukung dan mengelola pariwisata ini, saya mencoba melempar isu tersebut ke grup WhatsApp pulangkampuang.com. Syukurlah, dari grup yang diisi anak-anak muda Minang tersebut tanggapannya sangat positif dan mereka pun menyadari bahwa kunci pariwisata memanglah dari SDM-nya.
Dari diskusi di grup tersebut, kami mendapat tambahan semangat karena melihat banyak anak-anak muda lainnya di Sumbar yang mulai paham dan mendukung pengelolaan pariwisata secara baik dan cerdas. Salah satunya adalah komunitas #ayokepariaman. Komunitas yang diinisiasi oleh sejumlah “selebgram” setempat tersebut terbilang sukses mempromosikan wisata Pariaman dan mengedukasi masyarakat setempat soal pariwisata. Bahkan kini mereka pun mendapat dukungan dari Pemko Pariaman.
Di Batipuh, Padang Panjang, juga ada Mevi Rosdian, fotografer dan penyuluh kebudayaan tersebut mengajak masyarakat setempat membuat kampung wisata Kubu Gadang. Sekarang kampung wisata tersebut punya silek lanyah sebagai andalannya.
Dari daerah lain juga ada anak-anak muda yang peduli dengan wisata daerahnya, setidaknya itu bisa dibaca pada serial liputan khusus “pemuda pelopor pariwisata daerah” di harian Padang Ekspress beberapa bulan yang lalu.
Kemudian dari diskusi tersebut juga disebut-sebut soal city branding. Dilihat bahwa daerah-daerah kita di Sumbar ini banyak yang belum jelas branding-nya apa. Kalaupun ada, namun belum terkelola secara maksimal. Padahal brand ini sangat menentukan positioning. Yang jelas, kelemahan-kelemahan tersebut terjadi karena masih lemahnya SDM kepariwisataan tadi. Sampai ke soal infrastruktur wisata misalnya, kalau SDM-nya sudah oke maka infrastrukturnya pun akan menyusul. Sekali lagi ini soal SDM.
Menyangkut SDM ini, saya melihat bahwa kebanyakan (saya tidak menulis semua – hanya kebanyakan) masih berfikiran untuk mengambil keuntungan dalam pariwisata ini secara berlipat-lipat dalam tempo waktu yang singkat. Inilah yang menjadi penyebab mereka menjual dagangan dengan harga yang “dipakuak” pada wisatawan. Padahal dalam wisata, sejatinya ada target jangka panjang yang lebih besar dari keuntungan sesaat tadi.
Kemudian, sebagian masyarakat masih memandang negatif pariwisata sebagai kegiatan huru hara dan membawa dampak negatif bagi generasi muda. Ini mungkin terkait juga dengan kedatangan wisatawan mancanegara dengan gaya dan budaya asing yang kadang sering ditiru pula oleh anak-anak muda kita. Nah ini yang perlu diluruskan, pariwisata kita akan semakin bernilai ketika kita memperkuat identitas asli (budaya) lokal kita. Adalah salah kalau dengan pariwisata membuat kita sebagai tuan rumah lantas meniru budaya si pengunjung.
Nah, lagi-lagi itu terkait dengan SDM kan?
Karena itulah, menurut saya sudah saatnya Pemprov maupun pemda menggencarkan sosialisasi dan edukasi pariwisata ini kepada masyarakat dan anak muda/pelajar.
Oh ya, khusus anak muda/pelajar nampaknya perlu diberikan perhatian khusus. Karena banyak anak muda sekarang yang dalam pariwisata hanya menjadi konsumen. Dengan kata lain cuma datang jalan-jalan, kemudian foto-foto. Alangkah lebih bagusnya jika ada manfaat dan esensi baik itu secara ekonomi maupun keilmuan yang mereka dapat dari wisata, bukan?
– Yudha Ahada, (bukan) pengamat pariwisata, hanya jomblo yang senang berwisata.