Pengamat Politik dari Universitas Andalas, Aidinil Zetra mengungkapkan salah satu indikator berhasilnya pelaksanaan pemilu atau pilkada dilihat dari tingginya tingkat partisipasi pemilih untuk semua golongan. Namun ada sejumlah persoalan terkait partisipasi secara umum.
Hal tersebut disampaikannya saat menghadiri rapat koordinasi (Rakor) riset meningkatkan partisipasi pemilih bagi masyarakat menyongsong pelaksanaan pilkada serentak 2015 nanti.
“Misalnya adanya fluktuasi pemilih tiap pemilu, apa penyebabnya, KPU harus cari akar masalahnya dengan cara beroriantasi dengan daerahnya masing-masing,” jelasnya.
Hal kedua menyangkut rendahnya partisipasi pemilih yang harus diteliti KPU adalah menyangkut kenapa tetap adanya kertas suara yang rusak saat pemilihan.
Selanjutnya, adanya juga faktor politik uang marak sehingga menyebabkan masyarakat mulai bosan berpartisipasi karena calon yang dipilih dengan cara ini kerap mengenyampingkan kepentingan rakyat.
Dari pengamatannya, Aidinil menyebutkan praktik politik uang saat pemilih di Indonesia menunjukan trend yang meningkat.
“Bila pemilu sebelum 2009, praktik ini dilakukan sembunyi-sembunyi, namun pada pemilu 2014 justru terang-terangan, apalagi pada pilkda 2015 nanti calon diberi sinyal boleh memberikan suvenir seharga Rp 50 rupiah.” ungkapnya.
Kemudian aspek kesukarelaan masyarakat juga bisa menjadi penyebab turunnya partisipasi memilih tersebut. Dia melihat aspek ini tampaknya juga sudah muncul.
Banyak dari masyarakat yang kurang minat mengikuti berbagai kegiatan sosialisasi pemilu yang diadakan penyelenggaran pemilu, sehingga niat warga untuk ikut merasakan bertanggung jawab menegakkan demokrasi menjadi menurun.
Dia menyebutkan tujuan KPU melakukan riset partisipsi pemilih adalah mencari mencari permasalahannya sekaligus menghasilkan solusi yang berbentuk kebijakan yang sesuai untuk tingkatkan dan memperkuat partisipasi di daerah.
Ditambahkannya, hasil riset yang sudah dipetakan oleh masing-masing KPU itu juga berhubungan dengan anggaran yag akan dibutuhkan. Contoh, apabila dalam pemetaan turunnya partisipasi pemilih disebabkan aspek teknis seperti pendistribusian alat-alat peraga kampanye pada daerah yang cukup jauh, KPU jelas butuhkan biaya.
“Apabila tidak ada pembiayaan dari hasil pemetaan itu, maka hal itu diyakini bisa menurunkan tingkat partisipasi pemilih,” jelas Aidinil.
Dia juga mempertegaskan, bahwa perbandingan penelitian KPU dg hasil lembaga survei ada perbedaan juga bisa dijadikan bahan penelitian (riset).
“Kalau lembaga survei, hasilnya menilai tingkat elektabilitas dan populer calon sedangkan hasil riset KPU lebih melihat kondisi tingkat partisipasi pemilih, baik tingkat pemula, pemuda dan msy umum. Inilah pembeda hasil riset kpu tersebut,” ujarnya. (Huda Putra)