Satu-satunya yang tidak benar-benar direkonstruksi adalah perasaan
Sudah 9 tahun duka itu berlalu. Sore 30 september 2009 kala itu adalah mimpi buruk bagi kami masyarakat Sumatera Barat. Saya kala itu nyaris saya tertimpa reruntuhan balkon asrama Unand saat gempa dengan kekuatan 7,6 Skala Richter mengguncang Sumatera Barat.
Kami semua panik, saya yang sampai di luar asrama bersama dengan ratusan mahasiswa Unand lainnya menyaksikan Kota Padang dipenuhi kepulan asap di berbagai titik. Kami shock, karena mungkin dalam hidup kami belum pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Beberapa menit setelah gempa kami semua berkemas, membawa barang-barang yang bisa dibawa. Saya memasukkan laptop dan pakaian ke dalam tas. Berdua dengan kawan lain yang sekampung, malam itu kami tidur di lapangan tenis dekat asrama. Malam itu beberapa kali gempa terus mengguncang dengan skala yang lebih kecil.
Itu adalah salah satu hari terburuk dan menjadi hal tak terlupakan dalam hidup saya. Saya yakin hal yang sama juga dirasakan sebagian besar warga Sumatera Barat.
Hari ini, generasi yang lahir setelah 2009 mungkin melihat Kota Padang banyak dengan bangunan baru dan megah. Jika tidak diceritakan mereka mungkin tidak tau bahwa dulu, tanah kelahiran mereka ini pernah dilanda gempa besar dan menewaskan ratusan ribu orang.
Semua bangunan yang rubuh kini berganti menjadi bangunan baru yang lebih megah, lebih bagus dan ada shelternya. Satu-satunya yang tidak benar-benar direkonstruksi adalah perasaan
Semua bangunan yang rubuh kini berganti menjadi bangunan baru yang lebih megah, lebih bagus dan ada shelternya. Satu-satunya yang tidak benar-benar direkonstruksi adalah perasaan. Ada luka yang belum sembuh, ada trauma yang masih menyisa. Masih ada sesak di dada jika mengingat hari itu.
Luka ini mungkin tidak akan pernah sembuh sepenuhnya, trauma ini mungkin sulit hilang. Bilangan tahun tak akan bisa memulihkan itu semua. Tapi, satu hal, kita harus belajar dari bencana gempa Sumbar 30 september.
Setiap tahun kita memperingati musibah ini. Dan sudah memasuki tahun kesembilan. Kita harus mulai menanyakan kepada diri kita sendiri, siapkah kita? Jika gempa atau tsunami terjadi.
Sejauh mana kita dalam sembilan tahun belajar mengenal gempa bumi? sejauh mana kita tau apa langkah yang harus kita ambil untuk mengevakuasi diri dan meminimkan resiko menjadi korban gempa?
Kita tidak boleh menutup mata bahwa Sumatera Barat itu rentan terhadap gempa bumi. Kita bahkan punya dua potensi gempa besar, dari zona megathrust dan gempa darat dari zona sesar Semangko. Kedua potensi gempa ini banyak literaturnya yang bisa dibaca di internet.
Artinya dengan kerentanan tersebut setiap saat gempa mengintai kita. Kita tidak tau kapan itu benar-benar terjadi. Terdengar menakutkan memang, tapi kita harus menerima kenyataan itu agar bisa hidup damai dan bisa selamat serta bertahan saat itu terjadi.
Saya berharap setiap tahun peringatan gempa Sumbar, adalah saat dimana kita mengevaluasi lagi sejauh mana kita belajar. Peringatan bahwa kita masih rentan, gempa dan tsunami masih mungkin terjadi dan kita masih bisa belajar.
Hari ini duka yang kita rasakan sembilan tahun lalu juga dirasakan saudara-saudara kita di Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Kita berdoa agar mereka bisa bangkit segera dari musibah ini.
Semoga di tahun-tahun mendatang kita lebih siap, karena gempa bisa datang kapanpun dan tak ada yang bisa memprediksi. Setiap hari bagi kita adalah belajar; untuk menerima kenyataan bahwa kita rentan dan untuk menghadapinya ketika saatnya tiba.
Alfatihah untuk korban Gempa Sumbar, NTB dan Sulawesi Tengah
Padang, 30 september 2018