Beberapa tahun belakangan ini, industri rekaman di Ranah Minang memang semarak. Saat ini setidaknya ada lebih dari 26 produser rekaman lagu-lagu pop Minang dan beberapa di antaranya memiliki studio rekaman sendiri. Studio-studio rekaman tersebut bahkan banyak disewa oleh para produser dari Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
Selain studio yang dimiliki sendiri oleh produser rekaman seperti Yuskal, di Sumatera Barat ada sejumlah studio sewaan yang lebih sederhana. Misalnya, Delta Studio milik Jonpy di Aur Atas, Bukittinggi. Studio yang berdiri pada 2004 dengan modal tak sampai Rp 80 juta itu berada di rumah Jonpy dengan menggunakan tiga ruangan: ruang vokal yang kedap suara seluas 2 x 3 meter, ruang peralatan dan ruang operator 3 x 4 meter, serta ruang tunggu. “Studio ini dibuat mengikuti perkembangan, karena sekarang untuk rekaman cukup dengan komputer,” kata Jonpy. “Peralatan canggih bukan jaminan, karena yang paling penting adalah operator yang menjalankan.”
Begitulah. Bila menengok sejarah, awal perkembangan industri lagu pop Minang modern tak dimulai di Sumatera Barat, tapi di Jakarta pada 1950-an dengan kehadiran Orkes Gumarang pimpinan Asbon Masjid. Gumarang didirikan pada 1953 oleh sekelompok perantau Minang di Jakarta yang notabene adalah pemusik. Gumarang pertama kali dipimpin oleh Anwar Anief, dan beberapa bulan kemudian diserahkan kepada Alidir. Lalu, pada 1955 dialihkan kepada Asbon.
Gumarang terkenal setelah piringan hitam album Ayam den Lapeh, yang dilantunkan Nurseha, meledak di pasar pada 1957. Nurseha, gadis manis asal Bukittinggi yang menamatkan SMP di Bandung, Jawa Barat. Dia kemudian bekerja sebagai wartawati dan penyiar radio di Jakarta.
Setelah Gumarang, pada 1961 muncul grup musik lainnya, Kumbang Cari, yang dipimpin Nuskan Syarif – yang sebelumnya juga anggota Gumarang. Kumbang Cari mencuat oleh kehadiran Elly Kasim dengan suaranya yang khas. Lagu Bareh Solok ciptaan Nuskan melejit bersama lagu-lagu pop Minang modern lainnya melalui suara Elly.
Pada era 1970-an, bisnis rekaman mulai beralih dari Jakarta ke Sumatera Barat diawali oleh grup musik Lime Stone milik PT Semen Padang. Lime Stone mencuat dengan lagu-lagu gamad sarunai aceh yang dinyanyikan Yan Juned. Saat itu lagu gamad pun naik daun di Ranah Minang, bersanding dengan lagu pop Minang modern.
Para era 1970 ini sudah ada tiga produser rekaman lagu-lagu pop Minang, yakni Edo Record, Ganto Minang, dan Tanama Record. Lalu pada era 1980-an industri rekaman lagu pop Minang sempat terhenti.
Tahun 1990-an dianggap sebagai awal kebangkitan lagu Minang ketika penyanyi Zalmon meroket dengan lagu hit-nya Kasiak 7 Muaro ciptaan Agus Taher. Puncaknya, Zalmon dengan lagunya Nan Tido Manahan Hati ciptaan Agus Taher menyabet penghargaan HDX di Jakarta pada 1995 mengalahkan album Sunda milik Nia Daniati. Lalu, pada 1996 Melati dengan tembang Bugih Lamo ciptaan Tarun Yusuf mengikuti jejak sukses Zalmon.
Dampak semaraknya lagu dan penyanyi Minang itu diikuti dengan menjamurnya industri rekaman di sana. Menurut Yuskal, produser dan pemilik studio Sinar Padang Record, yang membuat industri rekaman di Sumatera Barat tetap bertahan dan terus bergairah karena skalanya relatif kecil, biaya pembuatan album bisa lebih murah. “Kalau di Jakarta bisa sampai ratusan juta membuat satu album, sehingga tidak bisa bertahan apalagi menghadapi pembajakan,” katanya.
Hal senada diungkapkan Suryadi, dosen dan peneliti di Jurusan Asia Tenggara dan Oceania, Universitas Leiden, Belanda. Salah satu faktor yang membuat industri rekaman di Sumatera Barat tetap bergairah karena tergolong kepada industri berskala kecil. “Tipe industri seperti ini biasanya lebih tahan banting, lebih tahan menghadapi goncangan resesi ekonomi, tidak seperti industri berskala menengah dan besar,” ujar Suryadi, yang kini sedang menulis disertasi mengenai industri rekaman Sumatera Barat.
Selain itu, Suryadi menambahkan, faktor perantau juga berpengaruh. Secara psikologis, perantau Minang, yang jumlahnya kira-kira separuh dari keseluruhan jumlah orang Minang, tentu selalu ingat kampung. Mereka ada di mana-mana di Indonesia, bahkan juga di negara tentangga seperti Malaysia dan Singapura. Untuk memenuhi nostalgia dan perasaan keminangan mereka adalah musik Minang. Jadi, musik Minang adalah salah satu unsur budaya yang membantu. Ini sesuatu yang wajar yang juga terjadi pada etnis lain,” kata Suryadi menjelaskan. (FEBRIANTI/Tempo)
[divider]
Tulisan ini dipublish di Tempo pada 11 Mei 2011 lalu. Salah satu catatan mengenai perjalanan Musik Minang hingga kini.