Oleh: Nabhan Aiqani
Ketua Umum UKM Pengenalan Hukum dan Politik
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Unand
Sebagai pemuda sudah sewajarnya dan memang ini yang harus dituntut, menjadi agen anti korupsi, yang siap menyebarkan semangat anti korupsi kepada masyarakat umum. Apalagi di tengah isu dan tindakan korupsi yang semakin massif tanpa memandang latar belakang, baik itu mereka yang memiliki gelar akademis yang tinggi, seorang profesional dan ekskutif, pastinya juga mereka yang berkiprah di legislatif dan birokrasi. Korupsi telah menyentuh semua ranah, masuk melalui rongga-rongga yang ternganga. Rongga-rongga yang alfa dari pendekatan moral dan etika, nilai kebaikan serta kemanusiaan. Kondisi ini tak pelak lagi diisi oleh nilai negatif yang justru menjerumuskan dalam kubangan “kenikmatan semu” akibat dari praktek korupsi.
Hal-hal kecil yang seringkali diabaikan boleh jadi jalan awal bagi praktek korupsi ini menyusup. Dalam keseharian jamak ditemukan bila kita masih sering korupsi terhadap waktu, tidak jujur dalam berbuat, sering kali tidak tertib dan melanggar aturan. Semua dengan sadar mengakui, yang sering tidak disiplin waktu dan aturan, suka menerobos dan tidak tertib dalam antrian, sbuang sampah sembarang lalu mengutuk ketika terjadi banjir, kesemuanya itu identik dan melekat dengan karakter bangsa Indonesia. Bila dipahami lebih lanjut, semua praktek itu secara substantif adalah bagian dari praktek korupsi dalam lingkup kecil, tapi bisa mewabah menuju hal yang lebih besar bila saja sikap tolerir masih saja di kemukakan.
Di lain sisi, terlahir sebagai masyarakat timur yang sarat dengan nilai-nilai toleransi kehidupan, dan cenderung kolektif boleh jadi ini salah satu penyebab degradasi dan disorientasi sosial budaya. Bukan berarti penulis mengatakan kebudayaan yang harus dipersalahkan. Tapi, sikap masyarakat yang belum memahami kebudayaan secara utuh dan integral dalam kehidupan sehari-hari justru berimbas pada praktik yang kenyataanya secara etika, moral dan kultural tak dapat dibenarkan. Ibarat sebuah doxa (dogma) yang kemudian dipraktekkan dalam habitus( kehidupan sehari hari) nilai-nilai tolerir yang senantiasa diterapkan bahkan pada hal yang negatif sekalipun, bisa berakibat kepada dibenarkannya tindakan yang dilakukan itu.
Ada juga yang mengistilahkannya dengan softgenocide, praktek korupsi yang tidak berimbas langsung kepada masyarakat, karena dalam cara pikir masyarakat awam, berapa banyak pun korupsi yang dilakukan elit pemerintah toh, hidup yang masyarakat jalani tetap sama saja, tidak ada perubahan sama sekali. Sehingga wajar di tingkat grassrot,masyarakat tidak peduli dengan persoalan bangsa yang satu ini, bahkan secara tidak sadar dalam kehidupan sehari-hari telah menerapkan praktek koruptif seperti yang penulis jelaskan diawal.
Penulis pun merasa tergelitik dengan meme yang trend akhir-akhir ini terkait kasus papa minta saham. Disitu digambarkan bila di Jepang ada istilah Harakiri, dimana para pejabat atau pemuka masyarakat yang melakukan perbuatan yang menjadi aib bagi keluarga dan negaranya, maka tidak ada cara lain untuk menebus selain dengan bunuh diri ketimbang harus menanggung malu. Begitupun dengan hukuman mati bagi koruptor di China. Tapi, ironisnya di Indonesia justru para pelaku korupsi dan kejahatan yang merugikan negara malah dibela mati-matian untuk sedapat mungkin dihindarkan dari jeratan hukum.
Benarlah bila dikatakan, Dunia Hukum dan Politik Indonesia saat ini masihlah sebatas memenuhi kebutuhan banal, epithometikum atau unsur bawah. Masih sekitar urusan makan, minum, kesenangan dan seks. Tak heran bila iklim demokrasi politik di Indonesia, masih kental dengan politik uang.Sehingga menjadi penting untuk membumikan semangat anti korupsi sedini mungkin.
Untuk itu mau tidak mau peranan dari semua kalangan yang masih peduli terhadap keberlangsungan pemberantasan korupsi mesti menghimpun diri sebagai gerakan massa aksi (civil society movement)yang mengontrol jalannya pemerintahan, tentunya basis di akar rumput mesti diperkuat, agar semangat anti korupsi benar-benar membumi.
Bila dalam bahasa Bourdiou dia menteorikankan dengan relasi struktur dan agen. Agen disini berperan dalam merubah struktur yang ada agar sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianutnya. Meminjam juga istilah Gramsci, intelektual organis. Yakninya individu atau kelompokyang memiliki kesadaran tertentu sesuai dengan fungsinya, berpenetrasi sampai ke massa. Berperan dalam memberikan sebuah pandangan dunia baru dalam menciptakan kesadaran kolektif.
Sehingga mesti dituntut, agar agen-agen anti korupsi ini bisa mengambil peran sebagai intelektual organis, yang mampu mempengaruhi struktur dominan, dalam hal ini negara dan pemerintah. Internalisasi nilai-nilai dan semangat anti korupsi akan dapat berakselerasi sempurna, karena kokoh pada struktur elit dan kuat pada level akar rumput. Keruntuhan tirani korupsi, tengah berada pada jalan yang benar, jalan pencerahan (iluminasi).