Oleh : Ikhsan Yosarie
Beberapa hari ini seperti Déjà vu. Karena sekitar tiga tahun yang lalu, saya juga mengalami hal yang seperti ini. Di masing-masing daerah, kita kembali menyaksikan agenda “tahunan” para pelajar. Agenda yang membuat kita bak melihat iring-iringan mobil yang melindungi pejabat Negara, atau bahkan seperti iring-iringan pasca sebuah tim sepakbola menjadi juara.
Kita telah “dihibur” dengan rangkaian tradisi kegiatan para pelajar yang lulus Ujian Nasional. Tradisi itu dimulai pasca diketahuinya hasil kelulusan Ujian Nasional, kemudian dilanjutkan dengan konvoi sepeda motor dan diakhiri dengan “coret-coret” seragam sekolah yang dipakai. Bagi mereka yang lulus, pesta kelulusan dirasa tidak afdol jika rangkaian kegiatan ini tidak dilakukan. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh para pelajar SMA, namun juga SMP. Karena ketika hasil kelulusan SMP dikeluarkan, sontak “hiburan” kembali didapat masyarakat dengan aksi pelajar SMP tersebut.
Pesta kelulusan itu menandakan Tahun Ajaran baru akan muncul, artinya akan banyak terjadi transformasi status. Dari siswa/i SD menjadi Pelajar SMP, kemudian dari Pelajar SMP ke pelajar SMA dan terakhir dari Pelajar SMA menjadi Mahasiswa/i Perguruan Tinggi. Dengan Transformasi status itu, otomatis lingkungan dan tempat kita belajar juga akan berubah sesuai dengan jenjang pendidikan, yaitu SD, SMP, SMA dan PT.
Mereka yang mengalami Transformasi status ini membawa misi yang berat. Tak hanya misi, beban dan tanggung jawab yang dipikul akan makin besar. Karena, semakin tinggi tingkatan transformasi, akan semakin mendekatkan kita menuju dunia kerja, yang tentunya akan berat untuk bisa survive disana, ketimbang dunia pendidikan yang bagi sebagian pelajar mereka masih dibiayai. Ketika kita survive didunia baru pasca transformasi status, saat itulah kita menyadari bahwa pesta kelulusan itu hanya menjadi “pesta sehari”, karena itu bukan menjadi akhir, namun justru awal menuju lingkungan yang baru dan tingkat lebih tinggi.
Salah Kaprah
Dengan adanya jenjang pendidikan, mau tidak mau setiap orang yang mengenyam pendidikan akan mengalami transformasi status. Karena sesuai tingkatan jenjang pendidikan, akan ada anak tangga yang mengantarkan kita menuju posisi pendidikan dengan status tertinggi, yaitu posisi siswa yang maha akan tingkat pendidikannya, yaitu mahasiswa.
Pelajar-pelajar SMP sangat ingin secepatnya SMA dan yang SMA ingin secepatnya kuliah. Pelajar yang ingin naik tingkatan itu berfikiran mereka akan menemui lingkungan yang lebih bagus pada tingkat berikutnya, terlebih para pelajar SMA yang kalau lulus Ujian Nasional akan bertransformasi menjadi seorang Mahasiswa Perguruan Tinggi.
Banyak kalangan pelajar SMA yang beranggapan kalau kuliah itu menyenangkan, mereka bisa bebas. Bebas dalam artian, tidak selalu masuk pagi (Pukul 07.00), boleh rambut panjang dan saat kuliah tidak memakai seragam seperti ketika masih menjadi pelajar dulu. Iming-iming kuliah seperti itu membuat mereka terjebak pada romantika paradigma awal. Karna cara pandang mereka terhadap kuliah pasca lulus UN adalah bebas, sehingga saat kuliah esensi pendidikan sulit untuk mereka dapatkan. Mereka lebih memilih kegiatan yang sesuai dengan paradigma awal, seperti tampil Stylish bak model, rambut panjang bak K-Pop dan bahkan mereka tidak bisa bangun pagi layaknya ketika masih pelajar dulu. Karena biasanya saat kuliah, kuliah pagi itu rata-rata adalah pukul 08.00.
Tirai ironi telah terbuka, karna input seperti inilah yang menyebabkan banyaknya output-output yang kurang mumpuni pada suatu kampus dan umumnya pada generasi muda. Telah bergesernya esensi pendidikan dan belajar karena terjebaknya seseorang pada paradigm awal yang hedonis, atau paradigm yang diakibatkan karena “lepasnya burung dari sangkar”. Bagaimana tidak, ketika masih SMP dan SMA, mereka terkungkung pada system aturan yang mengutamakan egaliter. Baju yang seragam, rambut yang tidak boleh panjang, masuk yang selalu pagi dan masih banyak lagi. Alhasil, ketika mereka bebas dari itu semua, tentu pelampiasan mereka adalah dengan mengaplikasikan kebebasan yang mereka saat menjadi mahasiswa baru. Memang tak bisa dipungkiri, bahwasanya masih ada kampus yang mengetatkan aturan pakaian dan penampilan, tapi setidaknya itu tidak se-egaliter saat SMP dan SMA, karena masih bisa mengakomodir Stylish para mahasiswa baru.
Dinamika dan Adaptasi
Terdapat perbedaan yang kentara antara lingkungan perkuliahan dengan SMA. Mulai dari lingkungan dengan beragam pemikiran, lingkungan dengan beragam buku-buku dan lingkungan dengan berbagai organisasi yang akan mempengaruhi mindset kita, bahkan bisa merekonstruksinya. Hal-hal seperti itu adalah hal yang biasa disebut Dinamika Kampus.
Bila biasanya pertanyaan saat SMA adalah, “kemana liburan kemaren?”, tapi saat kuliah pertanyaannya berubah menjadi “buku apa yang tamat dibaca kemaren?”. Romantika masa lalu sudah tidak relevan saat kuliah, itulah hal pokok yang perlu kita camkan pada diri masing-masing. Sehabis sekolah, biasanya kita pulang kerumah, namun sehabis kuliah semestinya kita melakukan hal yang konstruktif. Misalnya dengan berorganisasi atau diskusi. Perlu secepatnya agar proses adaptasi terhadap lingkungan baru, dinamika baru berjalan efektif. Tidak hanya karena tuntutan, tapi juga kesadaran.
Dan akhirnya, suka tidak suka dan mau tidak mau, Transformasi Status adalah awal mula menuju lingkungan baru, bukan akhir dari sebuah lingkungan sebelumnya. “Pesta sehari” sehabis diketahuinya kelulusan saat Ujian Nasional, hanya menjadi pengantar menuju lingkungan yang lebih luas dalam melihat dunia, Bukan pintu menuju lingkungan yang menyenangkan.