Merasakan warna-warni kehidupan di perkampungan Minangkabau barangkali adalah salah satu mimpi dari banyak pejalan budaya. Sudut-sudut terdalam dari kehidupan suku bangsa yang satu ini sejak lama menjadi misteri yang ingin dijelajahi banyak orang. Sebagian mungkin hanya ingin merasakan pengalaman berbeda, namun tidak sedikit yang sungguh-sungguh ingin menguak tabir, apa yang berbeda dari kehidupan etnik yang telah melahirkan tiga ‘Bapak Bangsa’ ini. Paling tidak, mengobati rasa penasaran, tentang kehidupan di kampung yang kira-kira dilalui Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Bung Hatta.
Kampung-kampung di Minangkabau pada hari-hari biasa kebanyakan adalah perkampungan yang sepi, karena sebagian penghuninya pergi merantau ke negeri orang, sedang mereka yang tinggal di kampung pergi ke sawah atau ladang hingga senja. Entah karena desakan ekonomi, trauma pasca perang saudara sebagaimana ditesiskan Muchtar Naim, atau karena mengejar ‘gaya hidup’ kota, anak muda Minang cenderung mulai meninggalkan rumahnya saat remaja. Dimulai dengan meninggalkan rumah orang tuanya untuk tidur di surau dengan teman sebaya, mereka kemudian akan meninggalkan ranah kampung halaman dan tepian mandinya di usia dua puluhan, untuk mengadu untung di negeri orang.
Tapi jika hari raya tiba, Idul Fitri atau Idul Adha, para perantau Minang akan berduyun-duyun pulang ke kampung halamannya, dan pelosok-pelosok nagari akan segera terasa seperti pasar dadakan. Dari rumah-rumah di setiap kampung akan segera menyebar bau harum rendang yang dimasak kaum ibu berjam-berjam lamanya. Belum lagi, aroma berbagai makanan ringan tradisional yang akan membuat siapapun meneteskan air selera. Lepau-lepau akan dipenuhi makanan yang tidak dijumpai di hari biasa. Makanan-makanan seperti Lamang Tapai (lemang dan tape), Ampiang Dadiah (semacam yoghurt), Katan Sarikayo (ketan sarikaya), berteman kopi daun kawa, akan menemani ota (obrolan) tentang sejarah keluarga, sejarah rempah-rempah, juga kaba (cerita tradisional).
Suasana hari raya itu akan bertambah lengkap manakala sebuah kampung berada di kawasan yang rindang dan indah semacam Lembah Harau, di kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Nagari-nagari di kawasan ini dianugerahi dengan keindahan bukit-bukit granit dengan tebing-tebing cadas, tujuh air terjun dan 200 hektar hutan tropis bertumbuhan heterogen. Belum lagi, hamparan persawahan dan ladang yang membentang di sepanjang jalan menuju lembah, yang mengingatkan pada lukisan di taman kanak-kanak dulu.
Bagi para pemanjat tebing, trakker, dan traveler, Lembah Harau sudah tidak asing lagi. Setiap tahunnya sekitar 110.000 pengunjung domestik dan 40.000 pengunjung manca negara berkunjung ke kawasan ini. Namun ada hal berbeda di Lembah Harau pada tanggal 13-14 September 2016 ini. Kegiatan bertajuk Pasa Harau Art And Culture Festival yang pertama, akan membuat kawasan Harau menjadi ‘kampung’ bagi siapa saja. Memanfaatkan suasana Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 12 September 2016, Festival Pasa Harau akan memberi kesempatan kepada para pengunjung Lembah Harau untuk memasuki ‘dapur kebudayaan’ masyarakat Harau, dengan berperan seumpama perantau yang pulang kampung.
Selama kegiatan yang akan berlangsung dua hari, para pengunjung dipersilakan untuk live-in di nagari Harau, baik dengan cara berkemah, maupun dengan cara tinggal di rumah-rumah penduduk. Para pengunjung akan berkesempatan menyaksikan langsung kesibukan memasak randang (rendang) di dapur-dapur keluarga Harau, dan menyanduk daging rendang yang lezat langsung dari kuali-kuali besar yang sedang terjerang di atas api tungku kayu bakar. Para pengunjung bisa sepuasnya mencium bau-bauan rempah-rempah berbalut santan kental khas Minang dari setiap sudut dapur di nagari Harau, yang akan dibawa asap yang membumbung merayapi dinding-dinding granit Lembah Harau.
Namun tidak saja itu, pengalaman menjadi ‘orang kampung’ Nagari Harau akan dilengkapi, karena Pasa Harau Art & Culture Festival juga akan menghadirkan puluhan seniman tradisional dan kontemporer, yang akan membawakan pertunjukan-pertunjukan khas Minangkabau. Di hari pertama, sebuah upacara yang melambangkan pembangunan kampung, bertajuk Manaiakkan Kudo-Kudo (menaikkan atap rumah) akan digelar. Dimulai dengan penyembelihan ayam, yang darahnya akan digunakan untuk mendarahi rumah, upacara akan dilanjutkan dengan menggantungkan setandan pisang, setandan mayang pohon pinang dan sebuah tunas kelapa, yang oleh masyarakat Minang dipercaya melambangkan kekuatan, keselamatan, kesuburan dan kemakmuran. Selama dua hari, seorang tukang pilihan, dibantu beberapa orang, akan mengenakan atap ijuk pada rangka khas atap rumah tradisional Minang yang disebut gonjong, dan melukis ukiran tradisional pada dinding bangunan itu.
Di hari pertama itu pula akan tampil Emri, seorang penari dan koreografer tari kontemporer Minangkabau, yang akan membawakan Tari Piriang di Ateh Kaco (tari piring di atas pecahan piring). Tari Piriang di Ateh Kaco adalah salah satu tarian rakyat yang paling dikenal dari Minangkabau dan menjadi atraksi yang sangat digemari, karena memperagakan keterampilan dan tehnik menari dan melompat di atas pecahan piring. Banyak tafsir disematkan pada tarian ini. Namun yang pasti, tari ini adalah ungkapan keyakinan sekaligus penyerahan diri masyarakat Minangkabau, selain tentu saja, ungkapan ajakan jamuan makan, yang tampak dari simbol piring yang digunakan sebagai properti utamanya.
Atas keyakinan tentang keterampilan dan tekhnik itulah, Festival Pasa Harau menghadirkan Emri, salah seorang penari terbaik yang dimiliki Sumatera Barat saat ini, untuk menampilkan tari yang konon diliputi tenaga gaib itu. Emri, yang telah bertualang mengajarkan tari Minangkabau ke beberapa Negara di dunia, dan cukup lama dengan tekun menggali silek (silat) Minang untuk menciptakan karya-karya tari barunya akan menari dibawah iringan musik Grup Si Kambang Manih. Setelah sekian lama lebih banyak bergelut dengan musik dan tari kontemporer, Emri akan menantang dirinya sendiri dengan atraksi Tari Piriang di Ateh Kaco, khusus untuk pengunjung Festival Pasa Harau. Bukan mustahil, hanya di Festival Pasa Harau orang bisa menyaksikan ketangkasan dan ketajaman gerak-gerak Emri dalam membawakan Tari Piriang di Ateh Kaco. Sebuah kesempatan langka, yang tidak akan didapatkan di tempat lain.
Ketika sore mulai turun di Lembah Harau, permainan Alang-Alang (layang-layang) yang menggambarkan siklus hidup agraris masyarakat Minangkabau, yang lazimnya dirayakan setelah masa panen akan tersaji. Sambil menyeruput kopi kawa daun, dan mengunyah makanan tradisional, pengunjung Pasa Harau dapat mendengarkan cerita-cerita tentang kopi kawa dan sejarah kolonial di Minangkabau. Sementara itu, langit senja Lembah Harau yang mulai kemerahan, akan dihiasi berpuluh alang-alang beragam corak dan warna yang melenggak-lenggok seolah menyambut malam, yang menunggu untuk dipandangi.
Pada malam harinya, setelah menikmati rendang dalam makan malam yang dihiasi obor dan cerita-cerita soal rendang, serta ditemani sajian musik oleh La Paloma, pengunjung akan dibawa menikmati suasana malam di Lembah Harau dalam acara berjudul Pasa Harau Music Performance, yang menampilkan Orkes Keroncong La Paloma, C-Kustik, Ranah Rasta, dan Taman Bunga. Orkes Keroncong La Paloma akan menggunakan pendekatan musik keroncong untuk mengolah kekayaan idiom musikal Minangkabau. Sementara C Kustik (Cahayo Kustik), akan menyajikan komposisi akustik Minang dengan formasi cajon, bas, gitar, keyboard, dan vokal. Ranah rasta akan membawakan nomor-nomor regae bernuansa lokal, sedang Orkes Taman Bunga akan menggoyang pengunjung dengan menghadirkan irama melayu retro dan alternatif.
Setelah sajian Pasa Harau Music Performance, para pengunjung berkesempatan menikmati turunnya malam dengan api unggun. Dan jika malam telah semakin tua, pengunjung akan merasakan keheningan Lembah Harau, dari balik tenda, atau dari balik dinding-dinding rumah keluarga baru mereka, yakni masyarakat Pasa Harau.
Pagi harinya, ketika ibu-ibu nagari Harau pulang masih mengenakan mukena dari masjid dan surau, para pengunjung akan diajak menyusuri jalan setapak menuju puncak bukit-bukit Harau, untuk menyaksikan matahari muncul dari balik Bukit Barisan yang mengepung. Ketika pulang kembali ke perkampungan, rasa letih pengunjung akan segera diobati oleh sajian silek lacah, sebuah peragaan adu ketangkasan beladiri tradisional Minangkabau di dalam medan berlumpur, yang tentunya mensyaratkan keterampilan dan latihan tertentu.
Kemudian, sekumpulan anak muda yang menamakan dirinya Balega Grup, akan menampilkan Tapuak Galambuak, sebuah pertunjukan yang mengambil inspirasi dari gerakan Randai. Pengunjung Festival Pasa Harau akan berkesempatan menyaksikan sajian Randai Inovatif dari sebuah Grup yang telah menampilkan karyanya di berbagai festival dunia ini. Randai, seni pertunjukan Minangkabau yang menggabungkan unsur seni drama, tari, dan musik itu, di tangan anak-anak muda ini akan tumbuh menjadi garapan baru, dengan gerakan silek dan tapuak galambuak (tepukan pada celana, yang menjadi ciri khas Randai) berpola baru yang atraktif.
Bayangkan, anak-anak muda Minang yang tergabung dalam Balega Grup ini, memainkan tapuak galambuak di udara, dengan komposisi bunyi dan konfigurasi bantuk beraneka rupa. Tontonan yang terakhir kalinya mereka sajikan di Brave Festival Slovakia ini, kini telah mengalami perkembangan baru yang jauh lebih atraktif. Dan penonton Pasa Harau, akan menjadi penyaksi pertama dari kreativitas mereka. Tidak berhenti sampai di situ, di Festival Pasa Harau, pengunjung akan berkesempatan mencoba keterampilan memainkan tapuak galambuak ini, dengan belajar langsung pada personil Balega Grup.
Semua penampilan kesenian tradisional itu akan berpentas secara organik, memanfaatkan kondisi alam Lembah Harau, yakni di sekitar persawahan, di dekat sungai, di lapangan, di dekat jembatan kayu yang telah tua, serta di kaki tebing granit yang menjulang. Sementara, kesenian tradisional khas Kabupaten 50 Kota yang nyaris punah, bernama Sijobang, akan ikut menyemarakkan suasana Festival Pasa Harau. Kesenian musikal yang berkembang dari cerita kaba berjudul Anggun Nan Tungga ini, disajikan untuk menemani pengunjung menikmati beberapa permainan rakyat.
Permainan pertama adalah Pacu Anjiang (Pacu Anjing), yang menguji kecepatan dan kekuatan anjing dalam mengejar hewan buruan berupa babi hutan. Seekor babi hutan akan ditempatkan di dalam kerangkeng sebagai pemancing, dan anjing tercepat akan memenangkan pertandingan. Selain sebagai salah satu hiburan bagi masyarakat, pacu anjing juga sebagai ajang silaturrahmi bagi mereka yang mempunyai hobi berburu babi.
Setelah itu, atraksi panjat kelapa akan disaksikan. Di tanah Sumatera Barat, pohon kelapa kadang bisa tumbuh dengan ketinggian sampai 30 meter atau lebih. Festival Pasa Harau akan menunjukkan salah seorang yang berjasa membuat buah-buah kelapa itu bisa sampai ke dapur-dapur, hingga menghasilkan santan kental, dan akhirnya gulai dan rendang yang lezat. Mereka adalah para tukang panjek karambia (pemanjat pohon kelapa), yang dengan bermodalkan sebilah parang di pinggang, tanpa alat pengaman khusus, dapat seperti berjalan meniti batang pohon kelapa. Hanya dengan cara melengkungkan kakinya di lingkar batang kelapa, tukang panjek karambia dapat dengan sigap beringsut menggapai setiap jengkal sampai ke pucuk kelapa. Para penonton dipastikan akan merasakan sensasi kengerian dan pacuan adrenalin. Meski tukang panjek karambia ini yang sudah terlatih dan berpengalaman, dijamin para pengunjung tetap akan merasakan keringat dingin membasahi telapak kakinya masing-masing saat menyaksikan atraksi ini.
Singkat cerita, semua rangkaian kegiatan seni budaya di dalam Festival Pasa Harau akan membawa pengunjung memasuki bagian terdalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Pada rangkaian itu, masyarakat di sekitar lokasi Lembah Harau, yang tergabung sebagai Komunitas Harau, beserta beberapa komunitas lain yang berada di 50 kota, akan bertindak sebagai tuan rumah, sekaligus sanak-saudara baru bagi pengunjung. (rel)